Karimun, Kepri – Masyakat adat di Indonesia secara tersurat dilindungi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang ditemukan pada beberapa pasal, diantaranya adalah Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”  

Secara implisit beberapa pasal yang memuat hak dan kewajiban masyarakat adat sebagai masyarakat dalam kesatuan negara Republik Indonesia yaitu pasal 27 Ayat 2, 28D Ayat 1, 28D Ayat 4, 28I Ayat 1 dan 3, 31 Ayat 1, 32 Ayat 1 dan 2, dan 34 Ayat 3.  Pada tingkat Undang-Undang (UU) terdapat empat undang-undang yang mengatur mengenai kriteria masyarakat adat, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Masyarakat Hukum Adat (MHA) adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Suku Laut adalah salah satu komunitas masyarakat adat yang ada di Kabupaten Karimun  Kepulauan Riau.  Suku Laut (Sea Nomads) merupakan salah satu komunitas pribumi (indigenous people).  Disebut sebagai Sea Nomads karena keberadaannya yang hidup nomaden dengan melakukan seluruh aktifitas kegiatan hidup yang tinggal di sebuah perahu atau sampan yang beratapkan sebuah ‘Kajang’.  Hal menarik lainnya adalah adanya perubahan sosial budaya dari transisi pemindahan orang Suku Laut, yang semula memiliki pola hidup nomaden menjadi masyarakat lokal pesisir yang hidup menetap.  Perubahan sosial ini lebih banyak diasosiasikan dengan degradasi kearifan lokal dan kepercayaan adat.

 Desa Sebele Kecamatan Belat merupakan salah satu desa dari 42 desa yang ada di Kabupaten Karimun, berjarak 25 Km dari ibu kota kabupaten atau sekitar satu  jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut.  Desa Sebele terdiri dari dua dusun,  yaitu Dusun 1 dan Dusun 2 yang berjarak ± 3 Km antar dusunnya.

Desa Sebele merupakan lokasi program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) tahun 2014.  Program Pamsimas dimaksudkan untuk meningkatkan akses air  minum dan sanitasi bagi masyarakat desa.  Secara umum masyarakat Desa Sebele lebih banyak yang berhuni atau bertempat tinggal di pinggiran pantai.

Pada tahun 2020 Desa Sebele kembali mendapatkan bantuan pembangunan air minum melalui program Hibah Khusus Pamsimas (HKP) dalam upaya peningkatan dan optimalisasi sarana yang telah dibangun melalui Pamsimas untuk memaksimalkan pemanfaatan akses air minum.  Program HKP khususnya menyasar masyarakat Dusun 1 yang dihuni sekitar 155 KK atau 709 jiwa.  Dusun 1 secara keseluruhan dihuni suku asli, orang setempat menyebutnya Suku Laut.  Pembangunan di Dusun 1 tertinggal jauh dibandingkan Dusun 2.  Di Dusun 1 tidak akan ditemukan jenis kendaraan bermotor sehingga dalam mengangkutan bahan dan material masih mengandalkan tenaga manusia.

Peran Perempuan atau orang melayu menyebutnya ‘Betine’ di Desa Sebele khususnya  di Dusun 1 sangat besar dan sangat antusias dalam mendukung program Pamsimas.  Kaum ‘Betine’ di dusun ini memposisikan dirinya sama dengan kaum pria dalam pelaksanaan program Pamsimas.  Dalam pelaksanaan program Pamsimas, kaum ‘Betine’ ikut mengangkut bahan dan material bersama-sama dengan kaum pria, termasuk dalam melakukan penggalian jalur pipa aliran air Pamsimas.

Material dan bahan bangunan untuk pembangunan sarana air minum diadakan dari ibu kota kecamatan yang berjarak sekitar 2 Km dengan menyeberangi laut.  Dalam pengangkutan bahan dan material ini dibutuhkan tenaga manusia yang tidak sedikit untuk mengangkut material dari pelabuhan di Dusun 1 sampai ke titik lokasi pembangunan sarana air minum yang berjarak ± 700 m.

Warga masyarakat Desa Sebele kini dengan mudah mendapatkan akses air berkat program Pamsimas.  Warga masyarakat tinggal membuka kran air dari rumah masing-masing untuk mendapatkan air guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.  Pada masa pandemi COVID-19, pemerintah desa, kecamatan, hingga pemerintah kabupaten, serta Fasilitator Pamsimas gencar mensosialisasikan protokol kesehatan kepada mayarakat.  Cuci tangan pakai sabun (CTPS) dengan air mengalir sudah menjadi bagian dari gaya hidup mereka.

Warga masyarakat menyadari betapa pentingnya air minum bagi kehidupan.  Mereka menyadari pentingnya pengelolaan sarana yang dibangun melalui Pamsimas, bahkan rela membayar iuran kepada KPSPAMS selaku pengelola  dengan membayar iuran di atas BOP (Biaya Operasional).  Setidaknya KPSPAMS membutuhkan biaya operasional setiap bulannya antara Rp 1 –  2,5 juta.  Berdasarkan data SIM Pamsimas (Modul 7.3 pada  Maret 2021), sarana yang dibangun melalui Pamsimas masih berfungsi baik (Purnawirahadi-DC Kab Karimun/Ramdan M-TA CDCB Kepri/Hartono).