Surabaya, Jawa Timur – Wirausaha Sanitasi Sebuah Solusi Bisnis Bidang Kesehatan. Itulah judul webinar yang digagas bareng ROMS-9 Pamsimas Provinsi Jawa Timur dengan LPPM STIE Indocakti Malang, beberapa waktu yang lalu.

Ketertarikan LPPM STIE Indocakti Malang mengangkat tema karena melihat wirausaha sanitasi sebagai peluang bisnis dan potensial memberikan keuntungan finansial bagi pelakunya. Dengan melakukan wirausaha sanitasi sekaligus mendukung upaya pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap sarana sanitasi yang layak berkelanjutan, menurunkan angka penyakit berbasis lingkungan, menekan angka prevalensi balita stunting, dan meningkatkan produktifitas masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).

Wirausaha sanitasi diinisiasi bareng Kementerian Kesehatan, Water and Sanitation Program (WSP) – Bank Dunia, dan salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur, sekitar tahun 2010, yang kemudian dikenal sebagai komponen supply dalam pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Wirausaha sanitasi dilakukan untuk menciptakan kebutuhan masyarakat terhadap akses sarana jamban sehat, atau dalam pendekatan STBM dikenal dengan demand creation. Demand creation diciptakan melalui proses pemicuan CLTS (Community Led Total Sanitation) yang mempunyai ciri kemandirian masyarakat untuk membangun sarana jamban sehat.

Proses pemicuan dianggap berhasil apabila setelah dilakukan pemicuan masyarakat yang terpicu secara berbondong-bondong berkeinginan untuk segera membnagun jamban di rumahnya. Namun apa yang terjadi? Tidak banyak toko bahan bangunan dan swasta lainnya yang bisa memfasilitasi rencana masyarakat tersebut. Closet sulit didapatkan di toko bangunan terdekat, kalua ada harganya juga mahal, dan minimnya opsi teknis membangun jamban terutama di daerah yang secara geografis sulit. Belum lagi warga masyarakat tidak memiliki lahan cukup untuk membangun jamban, dan terbatasnya kemampuan finansial. Akibatnya masyarakat berfikir ulang untuk dapat membangun sendiri, kemudian muncul kesan untuk membangun jamban itu sulit, ribet, tidak mudah dan lain sebagainya. Akibatnya masyarakat yang sudah berkomitmen untuk berubah menjadi gagal mewujudkan jamban.

Wirausaha sanitasi dilahirkan untuk menjawab tantangan dan kesulitan masyarakat tersebut. Ada sinergi para pihak dalam upaya mendorong percepatan peningkatan akses masyarakat terhadap jamban sehat. Pemerintah mendorong melalui upaya penganggaran, regulasi, iklim yang kondusif atau dikenal dengan komponen enabling environment; tingkat kebutuhan masyarakat meningkat melalui kegiatan pemicuan atau komponen demand, dan pihak lain dalam hal ini wirausaha sanitasi, diharapkan menangkapnya sebagai peluang bisnis yang menguntungkan. Melalui wirausaha sanitasi diharapkan bisa memberikan fasilitasi layanan satu pintu (one stop services). Dengan harapan beberapa tantangan yang dihadapi masyarakat terkait opsi teknis, kemampuan keuangan, stigma bahwa membangun jamban sehat itu ribet, mahal dan lain sebagainya, bisa diatasi dan terpatahkan dengan keberadaan wirausaha sanitasi.

Di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur yang keberadaan wirausaha sanitasi cukup berkembang dengan sebaran yang relatif banyak, yang juga termasuk wilayah dampingan program Pamsimas. Selama lima tahun terakhir, berdasarkan data www.STBM.Kemkes.go.id, terlihat ada peningkatan secara signifikan akses masyarakat terhadap jamban sehat. Apabila peningkatan akses hanya dipilih yang menggunakan jamban sehat permanen (JSP), atau menggunakan jamban leher angsa dan septictank, diperoleh data yang cukup tinggi (lihat pada grafik tren series).

Data di atas menunjukkan penambahan jamban setiap tahunnya. Bila dirata-rata 3 KK menggunakan 1 JSP, dimana pada tahun 2017 pertambahan jamban paling tinggi dibandingan tahun lainnya, setidaknya terdapat sekitar 9 – 10 ribu JSP baru yang dibangun. Dari data tersebut terlihat peran wirausaha sanitasi dimana untuk membuat jamban dibutuhkan keahlian khusus atau tukang yang terlatih.

Apa hubungannya dengan program Pamsimas di Kabupaten Nganjuk? Berdasarkan data SIM KPI 2 periode Juni 2020, di desa-desa lokasi Pamsimas Kabupaten Nganjuk setidaknya ada sekitar 29.007 jiwa yang mengakses jamban sehat, 92% dusun dampingan mencapai Open Defecation Free (ODF) atau SBS. Tidak dapat dinafikan peningkatan jumlah jamban tersebut berkat keberadaan dan peran wirausaha sanitasi sehingga meningkatkan capaian KPI 2 (jiwa berubah perilaku OD-ODF) dan KPI 13 (dusun OD-ODF).

Sebagai ilustrasi kebutuhan jamban di Jawa Timur dan seluruh Indonesia. Di Jawa Timur Jamban Sehat Semi Permanen (JSSP) ada 1.707.261, jamban sharing atau numpang ada 900.359, dan yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS) sebanyak 861.706. Total jamban sehat yang dibutuhkan 3.469.326 KK. Apabila semua KK membangun JSP diperlukan biaya sekitar Rp 6,9 Triliun, yaitu 3.469.326 (KK) x Rp 2 juta (biaya pembuatan jamban per unit).

Bila perhitungan di atas dilakukan secara nasional, dimana pengguna JSSP sebanyak 11.560.435, jamban sharing ada 5.719.324, dan 8.404.030 jiwa masih BABS. Secara nasional diperlukan jamban sehat sebanyak 25.683.789. Bila dibiayakan, untuk mewujudkan JSP secara nasional diperlukan biaya Rp 51 Triliun (Sumber data : www.STBM.Kemkes.go.id, periode : 7 Juli 2020)

Perhitungan di atas, sebagai ilustrasi saja, untuk menggambarkan bahwa wirausaha sanitasi adalah sebuah bisnis yang memberikan potensi keuntungan yang tidak sedikit. Bisnis ini juga berorientasi kepada social prenuer untuk membantu pemerintah mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat. Sungguh Mulia! (Pracihno Kurniawan-TA STBM Jawa Timur/Hartono).