Asmat, Papua – Kabupaten Asmat di Provinsi Papua dikenal dengan sebutan “Kota Seribu Papan”. Kota Seribu Papan ini dibangun di atas rawa, sepanjang jalan dan lorong jalan terbuat dari papan kayu besi. Meski kabupaten ini berada di atas rawa, setiap jengkal tanah dan tumbuhan ataupun tanaman liar yang ada di Asmat, ada tuannya, semua ada pemiliknya.

Program Pamsimas diperkenalkan/disosialisasikan pertama kali ke Kabupaten Asmat pada tahun 2014.  Kendala pertama yang dihadapi program Pamsimas saat penetapan lokasi pembangunan PAH (Penampungan Air Hujan). Setiap penggunaan tanah untuk lokasi pembangunan harus dilakukan ganti-rugi pada pemangku adat atau pemilik lokasi, meskipun pembangunan sesungguhnya untuk kepentingan warga kampung sendiri. Hal tersebut berlaku tidak hanya pada program Pamsimas tetapi pada semua pembangunan yang didanai APBD maupun APBN.

Meskipun program Pamsimas telah disosialisasikan pada tahun 2014 di Kampung Yuni Distrik Akat Kabupaten Asmat, pada kenyataannya persiapan dan perencanaannya baru dimulai tahun 2016. Persiapan dan perencanaannya benar-benar memakan energi yang cukup melelahkan. Kampung Yuni berjarak sekitar 72 Km dari ibu kota Kabupaten Asmat dengan waktu tempuh menggunakan speed boat (perahu motor) 40 PK sekitar 4 jam dengan biaya sewa Rp 7 juta. Tidak ada akses jalan menuju lokasi, satu-satunya cara melalui jalur sungai dan laut sebagai penghubung antar-kampung atau dari kota ke kampung.

Pada saat sosialisasi desa (sosdes) diadakan untuk memperkenalkan program Pamsimas, saat acara baru dimulai dengan arahan Kepala Kampung, datanglah sekelompok masyarakat yang meminta acara sosialisasi untuk dihentikan. Masyarakat berdalih, sosialisasi tidak dapat dilakukan sebelum ada kejelasan besaran ganti-rugi lokasi pembangunan. Tim Fasilitator yang menginisiasi kegiatan sosdes bingung karena memang belum membicarakan bangunan, baru tahap sosialisasi peminatan dan pembentukan kader AMPL serta pembentukan Tim Penyusun Proposal. Fasilitator melakukan sosialisasi sekaligus negosiasi kepada kelompok tersebut namun mereka terus bersikeras harus ada uang ganti-rugi dulu. Karena belum ada titik temu akhirnya kegiatan sosialisasi dihentikan.

Pada malam harinya fasilitator mencoba diskusi dengan Kepala Kampung. Diperoleh kesepakatan, sebelum sosialisasi dilaksanakan, Kepala Kampung bersama Fasilitator mengunjungi lebih dulu Kepala Suku dan beberapa tokoh masyarakat. Diperoleh kesepakatan, sosdes akan dilaksanakan di jeu (Rumah Adat Asmat).

Pelaksanaan sosdes di rumah bujang/Jeu atau rumah adat Asmat tidak dilaksanakan begitu saja, tetapi melalui rentetan adat termasuk melengkapi syarat-syarat adat seperti makan pinang bersama. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan acara sosdes peminatan program Pamsimas.

Pada awal pelaksanaan sosdes masyarakat mengira program Pamsimas akan membangun pabrik “aqua”, sehingga terjadi lagi keributan karena semua peserta sosdes sebanyak 156 orang minta dimasukkan semuanya kedalam kepengurusan. Untuk meredahkan keributan, Fasiitator menyampaikan semua peserta yang hadir akan dimasukkan menjadi Pengurus. Pengurus terdiri dari 2 orang Kader AMPL, 9 orang Tim Penyusun proposal, dan selebihnya yang 147 orang sebagai Tim Monitoring. Mengingat hampir seluruh warga kampung menjadi Pengurus, mereka sendiri yang menunjuk dan menetapkan lokasi pembangunan PAH tanpa ada uang ganti-rugi.

Melalui proses dialog dengan melibatkan tokoh berpengaruh setempat seperti Kepala Suku dan tokoh masyarakat lainnya, semua persoalan dapat ditemukan jalan keluarnya. Akhirnya setelah melalui proses yang panjang dan berliku-liku serta melelahkan, program Pamsimas di Kampung Yuni Distrik Akat dapat dilanjutkan kembali pelaksanaannya. (Aswan-DC Asmat/Hartono Karyatin-Advocacy & Media Sp. Pamsimas)