S erang, Banten – Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Itulah peribahasa yang popular pada era tahun 90-an. Namun ungkapan tersebut kini mulai jarang terdengar. Kalimatnya singkat, namun maknanya sangat jelas. Persatuan adalah landasan semangat yang sejak dulu digunakan oleh para pejuang untuk membangun bangsa. Budaya gotong royong merupakan salah satu perwujudan nyata dari semangat persatuan bangsa Indonesia.

Berbicara masa lalu, mudah sekali menemukan budaya gotong royong dalam berbagai bentuk. Mulai dari kerja bakti yang dilakukan warga hingga budaya gotong royong yang dilakukan antarumat beragama. Budaya gotong royong adalah identitas nasional. Karenanya, budaya gotong royong seharusnya terus dijaga supaya terus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa. Gotong berarti pikul atau angkat, sedangkan royong berarti bersama-sama. Gotong royong berarti mengangkat secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu secara bersama-sama. Atau dipahami sebagai bentuk partisipasi aktif setiap individu untuk ikut terlibat dalam memberi nilai positif dari setiap obyek, permasalahan, atau kebutuhan orang-orang di sekelilingnya. Partisipasi aktif tersebut bisa berupa bantuan yang berwujud materi, keuangan, tenaga fisik, mental spiritual, ketrampilan, sumbangan pikiran atau nasihat yang konstruktif, sampai hanya berdoa kepada Tuhan.

Salah satu program unggulan Pemerintah untuk mencapai Universal Akses pada tahun 2019 adalah program PAMSIMAS. Merupakan tantangan tersendiri bagi desa-desa yang ingin mendapatkan program PAMSIMAS, harus bersaing melalui beberapa tahapan, untuk mendapatkan desa yang tepat sasaran.

Pada program Pamsimas dibentuk KKM atau Kelompok Keswadayaan Masyarakat, yang pembentukannya dimulai dari tingkat basis paling bawah (dusun) sampai dengan tingkat desa. Proses ini mencerminkan keterwakilan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai luhur kemanusiaan (jujur, adil, ihklas, relawan, peduli) serta melibatkan kaum perempuan, seperti halnya keterlibatan pada tahapan IMAS (Indentifikasi masalah). Organisasi bentukan masyarakat seperti halnya KKM telah memiliki kekuatan hukum dan dapat merencanakan, melaksanakan dan memastikan pemeliharaan keberlanjutan dan keberfungsian sarana yang dibangun melalui pendanaan APBN/APBD dan dana sharing APBDes.

Menjadi pengurus KKM tidaklah mudah, selain tidak diberi gaji, dalam menjalankan tugas harus transparan terutama dalam pengelolaan keuangan dan administrasi. KKM harus mampu bersinergi dengan KP-SPAMS serta aparat Pemerintah Desa agar dalam menjalankan amanah kegiatan yang telah dituangkan di dalam RKM (Rencana Kerja Masyarakat) dan memastikan agar dapat berjalan sesuai denganJuknis. Oleh karenanya, KKM harus melibatkan masyarakat termasuk kaum perempuan dalam setiap tahapan kegiatan.

Tapi disinilah cerita itu bermula. Berawal di tahun 2018, KKM “Tirta Gunung Karang” Desa Sukarena di Kecamatan Ciomas Kabupaten Serang Provinsi Banten, dipercaya menjadi pengelola program Pamsimas di tingkat desa. Hadangan pertama adalah lokasi sumber air baku yang berada + 3 KM dari permukiman warga. Medannya cukup berat dengan kontur tanah mendaki dan cukup terjal. Keadaan di sekitarnya cukup lembab dan dipenuhi pepohonan atau semak-semak sehingga menghalangi jalan setapak, ditambah licin pula. Medan yang berat tersebut tidak memungkinkan kendaraan bermotor seperti mobil ataupun sepeda motor dapat mengakses jalan menuju lokasi sumber mata air, satu-satunya cara hanya dengan berjalan kaki.

Kondisi medan yang berat mendorong Tomy, Koordinator KKM yang juga Ketua Karang Taruna setempat untuk meminta bantuan anggota Karang Taruna Desa Sukarena untuk membuat mobilitas transportasi orang menjadi lancar. Ia menghimbau agar semua pemuda-pemudi di desa turut membantu mengangkat/membawa bahan matrial dan peralatan menuju ke sumer mata air.

“Dukungan masyarakat terhadap kegiatan PAMSIMAS di Desa Sukarena sangat nyata,” ucap Tomy. Pernyataan Tomy dibenarkan oleh Dayat, Ketua KP-SPAMS yang berprofesi sebagai montir radiator mobil. Semuanya bisa terlaksana meski dengan medan cukup sulit, namun bila dikerjakan secara bersama-sama dan sama-sama bekerja, dengan cara gotong royong, sarana reservoir dan brouncap serta instalasi perpipaan, akhirnya dapat diwujudkan.  “Apalagi kami memang butuh air, jadi krisis budaya gotong royong tidak terjadi di desa kami, ini murni 100% identitas kami. Budaya ini kami dapatkan secara turun temurun dari kakek-buyut serta orang tua kami,” tambah Tomy.

Ungkapan Tomy pada pelaksanaan kegiatan Pamsimas bukanlah hal yang luar biasa, namun merupakan ungkapan sederhana. Ungkapan tersebut cukup menantang dan mengandung makna serta arti yang luas. Didalamnya mengandung pesan yang ingin disampaikan tentang adanya krisis budaya kebersamaan, adanya krisis budaya gotong royong, dan krisis identitas generasi penerus yang melanda sebagian masyarakat. Pada saat yang bersamaan Pamsimas hadir untuk menjawab krisis-krisis tersebut melalui budaya gotong royong, sebagaimana telah ditunjukkan secara nyata oleh warga Desa Sukarena. (Ady Sofyan-FM Serang/Ilyas-DMA Serang/Putra-TA CDCB Banten/Hartono Karyatin-Advocacy & Media Sp. Pamsimas)