Donggala, Sulteng – Cerita ini bermula dari pendampingan saya selaku Fasilitator Pemberdayaan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) di Desa Batusuya Go’o Kecamatan Sindue Tombusabora Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.

Desa Batusuya Go’o berada sekitar  93 km dari Ibukota Kabupaten Donggala, dapat ditempuh melalui jalan darat.  Desa ini berbatasan dengan wilayah Desa Oti di sebelah utara, dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah laut Selat Makassar, dan di sebelah timur berbatasan dengan wilayah pegunungan Kabupaten Parigi Moutong.

Desa Batusuya  terbagi menjadi 3 (tiga) dusun, dengan jumlah penduduk 419 kepala keluarga (KK) atau  1.683  jiwa, terdiri dari 886 jiwa laki-laki dan 797 jiwa perempuan.

Desa  Batusuya Go’o pertama kali mendapatkan bantuan program Pamsimas I tahun 2009 dengan memanfaatkan sumber mata air yang dialirkan ke permukiman penduduk melalui jaringan perpipaan.  Namun  demikian karena sumber mata airnya mengecil tidak dapat lagi mampu melayani kebutuhan air untuk masyarakat.  Masyarakat setempat hanya dapat mengakses air dari sumur gali atau dap dengan kondisi air yang kurang layak untuk dikonsumsi.  Untuk mengembalikan keberfungsian sarana air minum tersebut, desa kembali mendapatkan bantuan program HKP (Hibah Khusus Pamsimas) pada tahun anggaran 2019.

Saat mendampingi pelaksanaan Program Pamsimas di Desa Batusuya Go’o, bertemulah dengan Mas’at, seorang perempuan yang yang menjadi Ketua Satlak (Satuan Pelaksana) dari KKM (Kelompok Keswadayaan Masyarakat) ‘Uwe Linota’ Desa Batusuya Go’o yang menjadi pengelola Program Pamsimas di tingkat desa.

Mas’at merupakan ibu rumah tangga yang juga aktif di organisasi kewanitaan di desa. Dalam program Pamsimas, ia cukup aktif dalam pelaksanaan program Pamsimas,  mulai dari tahapan perencanaan dan bahkan terlibat dalam rembug desa untuk memutuskan program Pamsimas di desanya.  Ia mengajak kelompok perempuan mengikuti rembug desa dan ikut terlibat dalam pengambilan keputusan terkait penyediaan sarana air minum, sanitasi dan kesehatan.  Ia juga ikut dalam penentuan opsi sarana air minum yang akan digunakan dan melakukan survei sumber sarana air minum yang akan dibangun.

Selaku Ketua Satlak Pamsimas, ia terjun langsung melakukan pengawasan saat pelaksanaan kegiatan.  Sebagai Ketua Satlak sekaligus merupakan perwakilan perempuan, ia ikut memantau hasil kerja dan secara aktif meminta laporan pertanggungjawaban keuangan, termasuk melakukan tindakan tegas apabila terjadi penyelewengan dalam pelaksanaan kegiatan.

Sebagai perempuan yang aktif di berbagai kegiatan sosial di desa, Mas’át  ingin selalu belajar hal-hal yang baru termasuk dari Program Pamsimas.  Ia senantiasa mengajak dan melibatkan kelompok peremuan berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan kegiatan Pamsimas.  Mas’at tidak ingin kelompok perempuan di desanya hanya menjadi penonton dan hanya menikmati hasil dari program.  Ia meminta kaum perempuan ikut berkontribusi berswadaya tenaga dan mengeluarkan pendapat apabila terjadi kesalah-pahaman dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan.

Kepemimpinan Mas’at mampu menggerakkan kaum perempuan berperan aktif dalam pembangunan desa melalui Program Pamsimas dan meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan masyarakat, kualitas hidup masyarakat dan melakukan pemeliharaan sarana terbangun agar berkelanjutan.

Pembelajaran yang dapat dipetik dari Program Pamsimas adalah mampu meningkatkan kemampuan perempuan dalam berorganisasi, kepemimpinan, kemandirian, percaya diri, pengambilan keputusan,  sehingga perempuan dapat menjadi pengurus kelembagaan di desa, seperti KKM, Satlak Pamsimas, maupun pengurus KPSPAMS.

Perempuan selain menjadi ibu rumah tangga yang kental dengan urusan sehari-hari seperti mencuci, memasak, dan pekerjaan rumah lainnya, namun juga mampu melakukan kegiatan produktif lainnya untuk menghasilkan uang.  Oleh sebab itu dalam melakukan kegiatan pertemuan perlu kiranya  membatasi waktu pertemuan. Terkadang fasilitator Pamsimas  memaksakan pertemuan berlangsung secara marathon tanpa mempedulikan kondisi peserta pertemuan. Hal ini dapat mengganggu urusan rumah tangga dan bahkan informasi yang disampaikan tidak dapat diserap secara baik karena warga sudah lelah dan tidak peduli lagi dengan isi pertemuan.

Ada hambatan dan tantangan lainnya terkait kesetaraan gender antara perempuan dan laki laki.  Ada anggapan tugas pengelolaan sarana air minum tidak bisa dilakukan oleh perempuan. Misalnya, perempuan tidak cukup bertenaga untuk melakukan pengecangan skrup-skrup pompa.  Tetapi  pada kenyataannya perempuan mampu mengerjakan semuanya dan bahkan  tanpa menghiraukan beban kerja tersebut.  Kaum perempuan cukup antusias dalam mengikuti pelatihan pengelolaan sarana.  Dengan perkakas dan pelatihan yang tepat, mereka mampu mengerjakan semua tugas perawatan berkala dan untuk pekerjaan lebih berat dapat meminta bantuan kaum laki-laki.  Anggapan bahwa laki-laki mempunyai pengalaman teknis yang lebih banyak, juga tidak selalu benar.

Tidak semua perempuan dapat melakukan seluruh pekerjaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.  Dalam menggalang partisipasi penting untuk melakukan pendekatan yang sifatnya personal agar kaum perempuan merasa dihargai kehadirannya dalam sebuah musyawarah, termasuk memberi kesempatan kepada kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat.

Sosok perempuan Ibu Mas’at mampu berbaur diantara kelompok laki-laki  selama pelaksanaan program Pamsimas, sehingga program Pamsimas dapat diselesaikannya dengan baik, dan sarana air minum dapat dinikmati kembali oleh warga Desa Batusuya Go’o.  (Endang Yuniarti, SPsi-FM CD Kab. Donggala/Hartono Karyatin-Media Sp PAMSIMAS).