Manokwari, Papua Barat  Subsay adalah sebuah kampung (Desa, RED) yang berada di Distrik Warmare  Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat.  Tahun 2018 Kampung Subsay merupakan calon desa sasaran Pamsimas Kabupaten Manokwari.  Setelah berproses, dimulai tahap perencanaan mulai dari sosialisasi desa, IMAS I, IMAS II sampai akhirnya pembuatan PJMPro-Aksi dan RKM, Kampung Subsay ditetapkan menjadi desa sasaran program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) tahun 2019.

Kampung Subsay dapat diakses dengan kendaraaan pribadi atau pun angkutan umum dengan waktu tempuh ± 1 jam dari ibukota Kabupaten Manokwari.  Akses jalannya cukup baik karena merupakan jalan provinsi yang menghubungkan Kabupaten Manokwari dengan kabupaten lainya di wilayah Papua Barat.

Menurut klasifikasi Masyarakat Hukum Adat (MHA), Kampung Subsay masuk dalam MHA Domberai, yang meliputi masyarakat yang tinggal di daerah ‘Kepala Burung’ Pulau Papua bagian barat.  Mereka ini merupakan bagian dari suku besar Suku Arfak.  Mayoritas warganya berasal dari Marga Mandacan, Indouw, dan Marga Ullo.  Pemilik hak ulayat atas wilayah Kampung Subsay adalah Marga Mandacan.  Dari  tiga bahasa yang biasa digunakan Suku Arfak, yaitu bahasa Meyah, Souw dan Hatam, umumnya masyarakat Kampung Subsay menggunakan bahasa Meyah saat berbicara dengan sesama masyarakat yang mengerti bahasa Meyah.  Namun bila berbicara dengan suku lain, menggunakan bahasa Indonesia.  Pada umumnya masyarakat asli Papua pada MHA wilayah Domberai akan memanggil orang dari suku di luar Papua dengan sebutan ‘Amber’ atau ‘Mbrei’ yang artinya orang luar.

Sejak awal sosialisasi Progam Pamsimas sudah disampaikan kepada masyarakat, Pamsimas merupakan program pemerintah untuk meningkatkan akses air minum  dan sanitasi bagi masyarakat perdesaan.  Fasilitator juga memberikan pemahaman kepada masyarakat, dalam Program Pamsimas tidak ada penggantian hak ulayat.  Karenanya, diharapkan para pemilik hak ulayat tidak meminta ganti rugi bila ada bangunan sarana Pamsimas di atas tanah hak ulayat. Hasil kegiatan berupa bangunan sarana air minum nantinya akan menjadi milik masyarakat dan akan dikelola oleh masyarakat.  Pamsimas merupakan kegiatan dari masyarakat dan untuk masyarakat. 

Dalam setiap kali pertemuan dengan masyarakat, tim fasilitator selalu menekankan terkait hak ulayat dan selalu dijawab  tidak akan ada masalah terkait hak ulayat. Yohanes Indouw, Kepala Kampung Subsay meyakinkan tim fasilitator, tidak ada masalah terkait hak ulayat.  Pihaknya menegaskan, sebagai kepala kampung segala sesuatu di desa tersebut dirinyalah yang mengatur.  Ia juga menegaskan, pemilik hak ulayat sudah meninggal dan tinggal anaknya saja.  Kepala kampung, sekali lagi, meyakinkan kepada fasilitator, anak-anak sebagai pewaris hak ulayat bisa diberikan pemahaman oleh kepala kampung, mereka umurnya masih sangat belia.

Pendampingan Program Pamsimas oleh fasilitator pada awalnya lancar-lancar saja, tidak ada hambatan yang berarti.  Masalah baru muncul saat pelaksanaan kegiatan fisik mulai dilakukan, padahal sejak awal sudah dijelaskan secara gamblang.  Drama dimulai pada saat pembangunan bak penampung dimana ada anggota masyarakat yang menuntut kepada KKM karena ikan di kolamnya mati.  Masyarakat  menuntut ganti rugi, dan bahkan memasang palang di lokasi menuju areal pembangunan bak penampung.  KKM melakukan konsultasi dengan tim fasilitator untuk mencari jalan keluar.

Langkah pertama yang dilakukan tim fasilitator dengan mengajak KKM dan Satlak melihat langsung ke lokasi kolam ikan.  Hasil pengamatan di lapangan, ikan di kolam mati disebabkan  karena selang sambungan pada kolam terputus, bukan diakibatkan pembangunan bak penampung.  Tidak ada pipa/saluran yang menghubungkan sumber mata air ke kolam ikan yang terputus.  Di kolam ikan pun yang ada hanya bibit ikan, bukan ikan besar siap panen sebagaimana disebutkan warga yang minita ganti rugi. 

Penjelasan tim fasilitator bersama KKM dan Satlak dapat dimengerti dan dipahami oleh kepala kampung.  Namun demikian warga masyarakat tidak mau tahu dan tetap menuntut ganti rugi.  Warga tetap melarang pembangunan bak penampung dilanjutkan.  Melalui pertemuan kemudian disepakati untuk memindahkan lokasi pembangunan bak penampung.  Untuk itu segera dilakukan revisi RKM disesuaikan rencana yang baru mengingat material bangunan telah didatangkan ke kampung oleh KKM-Satlak.

RKM selesai direvisi, pembangunan bak penampung dan PMA (Penangkap Mata Air)  dimulai di lokasi baru seperti yang disepkatai KKM, pemerintah desa, dan masyarakat setempat.  Maka dimulailah pekerjaan konstruksinya;  tidak ada masalah yang muncul.  Namun tiba-tiba pemilik hak ulayat (atas tanah dan sumber air) meminta ganti rugi setelah mendengar kabar dana BLM cair.  Mereka bahkan mengancam akan memalang dan merobohkan bangunan bak jika tidak diberi ganti rugi 20 juta rupiah  .

Tim fasilitator, KKM, Satlak, dan pemerintah kampung berebug lagi mencari solusi.  Karena tidak mungkin mengganti lokasi (lagi) dan melakukan revisi RKM (lagi), maka diputuskan untuk membayar ganti rugi.  Mengingat Program Pamsimas tidak menganggarkan ganti rugi hak ulayat, tim fasilitator mengadvokasi pemerintah desa agar bersedia membayar ganti rugi.  Sepertinya kepala kampung merasa bersalah atas apa yang telah disampaikan sebelumnya, akhirnya pemerintah kampung bersedia membayar ganti rugi.

Masalah hak ulayat sudah ada solusi, namun muncul persoalan baru. Akibat intensitas hujan yang sangat tinggi yang mengguyur wilayah Papua Barat pada bulan Agustus-Desember, mengakibatkan longsor tanah di sekitar lokasi pembangunan PMA dan menutupi bangunan PMA.  Warga masyarakat, KKM, dan Satlak bergotong royong membersihkan tanah yang menutupi sebagian bangunan PMA.  Setelahnya, pembangunan PMA dapat dilanjutkan kembali.  PMA selesai dibangun, muncul musibah longsor yang lebih dahsyat yang mengakibatkan bangunan PMA seluruhnya tertutup longsoran tanah.  Tidak hanya itu, pipa yang menghubungkan ke PMA putus dan terbawa longsoran tanah sejauh 10 meter.

Karena musibah longsor terus berulang, tim fasilitator menanyakan kepada kepala kampung apakah masalah ganti rugi telah diselesaikan.  Rupanya pembayaran ganti rugi baru dibayarkan setengahnya.  Agar tidak terulang lagi musibah, salah satu anak pemilik hak ulayat  mengusulkan dilakukan upacara adat di lokasi bangunan PMA.  Upacara adat digelar dengan menanam kepala babi di sekitar daerah yang longsor.  Percaya tidak percaya, dan tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh adat dan mistik masih kerap terjadi di tanah Papua. 

Akhirnya warga masyarakat, KKM dan Satlak, serta pemilik hak ulayat yang tanahnya longsor, secara beramai-ramai melakukan kerja bakti membersihkan bangunan PMA yang tertimbun longsoran tanah.  Ke depannya warga masyarakat akan melakukan penanaman pohon bambu dan kayu keras sebagai penahan tanah agar tidak longsor lagi yang dapat menimpa bangunan PMA (Joe Sinaga-FM CD Kab. Manokwari/Hartono Karyatin-Media Sp PAMSIMAS).