Aceh Besar, Aceh – AIR minum merupakan hal yang krusial dalam kehidupan makhluk hidup di bumi. Air menjadi sumber kehidupan dan kebutuhan dasar bagi kehidupan. Kebutuhan dasar tersebut harus dipenuhi dengan sistem penyediaan air minum yang berkualitas, sehat, efisien, efektif, dan terintegrasi kepada sektor sanitasi. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka masyarakat dapat hidup sehat, produktif, dan dapat meningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Dalam rangka mencapai target akses air minum dan sanitasi yang menyeluruh serta target Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, perlu keterlibatan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk melaksanakan program prioritas penyediaan air minum.

Salah satu upaya pelaksanaan SDGs ialah pengolahan air bersih yang langsung dapat diminum (dikonsumsi) sebagaimana dipraktikkan di Stasiun Mono Rail Train (MRT) Dukuh Atas, Jakarta. Fasilitas air siap minum ini telah ditempatkan di tempattempat umum, khususnya di area sekitar moda transportasi publik dan tempat yang banyak dilalui para pejalan kaki di Jakarta (Sumber: https:// www.liputan6.com).

Penyediaan air dari keran langsung siap minum bisa menjadi contoh dalam penyediaan air minum masyarakat di pedesaan dan perkotaan oleh Perusaahan Daerah Air Minum (PDAM) atau program Sarana Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (SPAMS) lainnya di Provinsi Aceh.

Oleh sebab itu, untuk pemenuhan kebutuhan air minum sehari-hari masyarakat perkotaan dan pedesaan dapat diperoleh dari PDAM, depot air minum isi ulang, membeli air kemasan dan menerima program SPAMS.

Penyediaan air minum oleh PDAM dan program SPAMS belum bisa langsung dapat diminum oleh masyarakat disebabkan air minum yang diproduksi masih dikategorikan air bersih, sehingga tidak aman untuk diminum langsung. Air tersebut aman untuk diminum setelah dimasak sampai mendidih. Mengonsumsi air minum yang tidak layak akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat, seperti meningkatnya penyakit diare, muntah, mencret dan stunting.

Bangunan pengolahan air minum terdiri atas bangunan intake, saringan kasar, koagulan, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan desinfeksi. Untuk menjaga kualitas air minum ini merujuk kepada baku mutu kualitas air berdasarkan Permenkes RI Nomor 492 Tahun 2010 sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2015- 2030.

Target SDGs

Negara harus terlibat langsung dalam menyelenggarakan berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan air bersih bagi setiap warga yang tinggal di wilayah pedesaan dan perkotaan. Pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah bagi setiap warga negara.

Tujuan SDGs sangat luas, karena penyusunan SDGs sangat partisipatif dan banyak pemangku kepentingan yang terlibat lintas sektor dan disiplin ilmu. Salah satunya pembangunan berkelanjutan untuk masyarakat yang kuat, sehat, dan berkeadilan untuk mendapatkan air dan sanitasi (water forums).

Mencapai SDGs dengan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, menghemat biaya, mengurangi limbah produksi, dan mengurangi dampak lingkungan, menganalisis pengelolaan penggunaan sumber daya alam, dan mengelola lingkungan.

Sesuai dengan target SDGs untuk mendekatkan akses air minum di pedesaan dan pinggiran kota dalam rangka pencapaian target akses universal air minum dan sanitasi. Ini semua untuk mendukung program pemerintah dalam mencapai 100% akses air minum dan 100% akses sanitasi bagi semua masyarakat Indonesia.

Tingkat pemakaian air bersih secara umum ditentukan berdasarkan kebutuhan masyarakat untuk kehidupan sehari- hari. Kebutuhan masyarakat terhadap air dimulai dengan kebutuhan untuk air minum sampai pada kebutuhan untuk sanitasi.

Untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk minum dan masak serta untuk mandi diperkirakan untuk air minum masyarakat pedesaan 60 liter/ orang/hari, kota kecil 90 liter/orang/hari, kota sedang 110 liter/orang/hari, kota besar 130 liter/orang/hari, dan kota metropolitan 150 liter/ orang/hari (sumber: Dirjen Cipta Karya PUPR).

Saat ini, untuk penyediaan air minum di Provinsi Aceh dilayani oleh 23 PDAM untuk melayani 5.371.532 jiwa (Sumber: Dirjen Dukcapil Kemendagri).

Untuk memberi pelayanan air bersih tersebut, jaringan pipa PDAM belum menjangkau seluruh pelosok di Aceh, yaitu: 6.497 gampong, 289 kecamatan, 18 kabupaten dan lima kota. Dengan keterbatasan fasilitas dimiliki oleh PDAM, sarana air minum hanya menjangkau pelayanan air minum di daerah perkotaan dan sebagian daerah pinggiran kota. Sisanya, pelayanan air minum bagi masyarakat desa atau pinggiran walaupun tidak bisa diakses semua dapat terlayani dengan berbagai program SPAMS air minum.

Amanah Undang-Undang

Penyediaan Air Minum dan Sanitasi yang layak sesuai dengan Amanah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, serta PP Nomor 112 Tahun 2015 tentang Sistem Penyedian Air Minum.

Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) sebagai bentuk pemanfaatan sumber daya air dan pengelolaan air limbah sebagai bentuk perlindungan dan pemeliharaan sumber daya air wajib dilakukan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Hadirnya negara dalam penyediaan air minum dilakukan dengan berbagai pendekatan program, seperti: SPAMS Padat Karya, SPAM Berbasis Masyarakat, Pamsimas, dan SPAMS Pedesaan. Dengan berbagai program SPAMS yang telah diaplikasi di masyarakat tersebut, diharapkan dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Salah satu fungsi penyediaan air minum adalah menyediakan akses air minum bersih, mendorong akses fasilitas sanitasi yang aman, dan terutama mendorong terbentuknya budaya pola hidup bersih dan sehat (PHBS), kesehatan, perilaku cuci tangan pakai sabun (CTPS), serta dapat memberikan kontribusi terhadap pencegahan Covid- 19.

Capaian akses air minum di Aceh Presiden Jokowi telah menandatangani UU Nomor 6 Tahun 2021 tentang APBN 2022, salah satunya menyebutkan dana otonomi khusus (otsus) Aceh sebesar 7,5 triliun.

Dengan alokasi sebesar ini, Pemerintah Aceh bisa menambah alokasi dana untuk pembangunan air minum dan pemulihan lingkungan (AMPL). Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) yang sesuai dengan tujuan SDGs Nasional untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi setiap tahun di Provinsi Aceh.

Akan tetapi, berdasarkan informasi yang didapatkan dari https://bappeda.acehprov.go.id dijelaskan bahwa capaian sektor air minum dan sanitasi di Aceh saat ini masih rendah. Tahun 2020, capaian untuk akses air minum layak (jaringan perpipaan) sebesar 17,66 persen dan capaian untuk akses sanitasi layak sebesar 76,38 persen. Padahal, Pemerintah Aceh menargetkan capaian yang harus terpenuhi sampai dengan tahun 2022 untuk air minum layak (jaringan perpipaan) sebesar 20,57% dan untuk akses sanitasi layak sebesar 81,89%.

Besarnya GAP yang telah akses air minum sebesar 2,99% dan akses sanitasi 5,51%. Jika target akses air minum 100%, maka GAP-nya naik meningkat masyarakat Aceh belum mendapatkan akses air minum yang layak yaitu 82,34%, sedangkan sanitasi sebesar 23,62%. Dapat disimpulkan bahwa kondisi pelayanan air minum dan sanitasi di Aceh belum maksimal sehingga harus ada upaya optimal untuk meningkatkan anggaran bidang AMPL. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengurangi angka kemiskinan, pengangguran, dan stunting. (Bahagia Ishak, mantan Co. PC Provinsi Aceh)

Sumber:
https://aceh.tribunnews.com/2022/01/20/sdgs-sebagai-upaya-penyediaan-air-minum-aman-konsumsi?page=all.